PPJB adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang ditandatangani antara konsumen dengan developer. PPJB dilakukan supaya ada ikatan antara pemilik rumah dalam hal ini developer
dengan pembeli dalam hal ini konsumen untuk melakukan jual beli
terhadap rumah yang disepakati. Pasal-pasal dalam PPJB tersebut
mencantumkan hal-hal pokok mengenai objek, developer dan konsumen. Hal
pokok lainnya yang diatur dalam PPJB yaitu waktu pelaksanaan pelunasan
atau penandatanganan Akta Jual Beli.
Selain menyepakati mengenai objek, PPJB juga mengatur dengan tegas
apa saja hak dan kewajiban para pihak yang saling berikatan dan
sanksi-sanksi yang diterapkan jika ada salah satu pihak yang tidak
sanggup memenuhi pasal-pasal perjanjian tersebut atau yang lazim disebut
wanprestasi.
Pembayaran harga rumah oleh konsumen bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan pembayaran bertahap atau dengan Kredit Pemilikan Rumah atau KPR
. Pembayaran dengan cara bertahap perlu ditindak lanjuti dengan Akta
Pengikatan Jual Beli atau PJB yang dibuat di depan notaris. Dimana dalam
PJB tersebut sekurangnya mencantumkan skema pembayaran sampai pelunasan
beserta sanksi-sanksi.
Apabila pada masa PJB ini pembeli ingin menjual rumahnya bisa
dilakukan dengan cara mengoperalihkan PJB atau pengalihan hutang
(novasi) dengan memperhatikan pasal-pasal yang terkandung dalam PJB
tersebut. Dalam hal ini pengoperan harus sepengetahuan developer, dan
biasanya developer sudah memiliki mekanisme tersendiri dalam proses
peralihan rumah yang masih dalam masa cicilan.
Jika pembayaran selanjutnya dilakukan dengan KPR maka PPJB harus
berakhir terlebih dahulu dan dilakukan dengan akad kredit, yang dalam
prakteknya akad kredit ini ditindaklanjuti dengan penandatanganan AJB
dan Akta Pemberian Hak Tanggungan
atau APHT yang mengandung pengertian bahwa telah terjadi jual beli
antara konsumen dengan developer hanya saja pelunasan dilakukan oleh
bank pemberi KPR.
Selanjutnya bank dengan bantuan PPAT akan mendaftarkan pencatatan hak tanggungan tersebut ke Kantor Pertanahan setempat.
Pada titik ini sebenarnya hubungan dengan developer sudah terputus
dalam hal pembayaran harga rumah karena sudah ada AJB antara konsumen
dengan developer, sehingga yang berhak secara yuridis terhadap rumah
tersebut adalah bank pemberi KPR.
Jika dalam jangka waktu KPR ini pemilik rumah ingin menjual rumahnya
ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama dengan percepatan pelunasan
KPR, dimana bank nantinya akan mengeluarkan surat Roya
yang menyatakan bahwa hutangnya telah dilunasi dan objek berupa rumah
tersebut tidak lagi menjadi jaminan hutang. Surat roya tersebut
didaftarkan ke BPN untuk menghapus catatan hak tanggungan yang melekat
pada sertifikat.
Setelah sertifikat bersih dari beban hak tanggungan maka bisa dilakukan jual beli dengan pembeli yang baru.
Cara kedua yang bisa dilakukan adalah dengan cara oper kredit, cara
ini tergantung bank pemberi kredit apakah pembeli yang baru ini dinilai
bank sanggup untuk meneruskan kewajiban cicilan terhadap objek yang
menjadi tanggungan.
Bisa juga dilakukan jual beli bawah tangan dimana jual beli dilakukan
hanya antara penjual dan pembeli tanpa sepengetahuan bank. Cicilan akan
langsung diambil alih oleh pembeli. Cara ini banyak dilakukan tetapi
mengandung resiko bagi si penjual.
Resikonya bagi penjual adalah selama tidak dilakukan jual beli dengan
akta jual beli di hadapan PPAT atau oper kredit di bank maka kewajiban
pembayaran angsuran tetap terhadap penjual. Jika terjadi wanprestasi
atau gagal bayar oleh pembeli bawah tangan tadi maka implikasi hukumnya
tetap melekat kepada penjual. Sehingga tagihan hutang secara resmi tetap
kepada penjual dan catatan pembayaran bermasalah tetap terhadap
penjual. Dan yang terkena blacklist BI atau BI checking adalah penjual.
Hal ini pernah terjadi pada seorang teman saya yang mengajukan KPR.
Setelah dilakukan pengecekan oleh bank ternyata namanya termasuh nasabah
yang gagal membayar cicilan atau dalam istilah sehari-hari lazim
disebut kena blacklist BI atau BI checking. Tentu saja dia kaget karena
merasa tidak lagi memiliki kewajiban cicilan kepada bank manapun.
Usut punya usut ternyata ia dulu pernah membeli rumah dengan KPR dan
mengoper kreditkan rumahnya tersebut kepada temannya. Proses oper kredit
hanya dengan cara di bawah tangan dimana cicilan dilanjutkan oleh
kawannya tanpa memberitahukan kepada bank.
Namun dalam perjalanannya temannya tidak sanggup membayar cicilan
sehingga catatan tunggakan hutang tetap melekat pada namanya… walah
walah
Jadi mulai sekarang hindari proses jual beli atau oper kredit bawah tangan karena akan merugikan kita sendiri…
No comments:
Post a Comment