Thursday, 10 April 2014

Proses Jual Beli Rumah Dalam Status PPJB atau Masa KPR

PPJB adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang ditandatangani antara konsumen dengan developer. PPJB dilakukan supaya ada ikatan antara pemilik rumah dalam hal ini developer dengan pembeli dalam hal ini konsumen untuk melakukan jual beli terhadap rumah yang disepakati. Pasal-pasal dalam PPJB tersebut mencantumkan hal-hal pokok mengenai objek, developer dan konsumen. Hal pokok lainnya yang diatur dalam PPJB yaitu waktu pelaksanaan pelunasan atau penandatanganan Akta Jual Beli.

 
Selain menyepakati mengenai objek, PPJB juga mengatur dengan tegas apa saja hak dan kewajiban para pihak yang saling berikatan dan sanksi-sanksi yang diterapkan jika ada salah satu pihak yang tidak sanggup memenuhi pasal-pasal perjanjian tersebut atau yang lazim disebut wanprestasi.


Pembayaran harga rumah oleh konsumen bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan pembayaran bertahap atau dengan Kredit Pemilikan Rumah atau KPR . Pembayaran dengan cara bertahap perlu ditindak lanjuti dengan Akta Pengikatan Jual Beli atau PJB yang dibuat di depan notaris. Dimana dalam PJB tersebut sekurangnya mencantumkan skema pembayaran sampai pelunasan beserta sanksi-sanksi.
Apabila pada masa PJB ini pembeli ingin menjual rumahnya bisa dilakukan dengan cara mengoperalihkan PJB atau pengalihan hutang (novasi) dengan memperhatikan pasal-pasal yang terkandung dalam PJB tersebut. Dalam hal ini pengoperan harus sepengetahuan developer, dan biasanya developer sudah memiliki mekanisme tersendiri dalam proses peralihan rumah yang masih dalam masa cicilan.
Jika pembayaran selanjutnya dilakukan dengan KPR maka PPJB harus berakhir terlebih dahulu dan dilakukan dengan akad kredit, yang dalam prakteknya akad kredit ini ditindaklanjuti dengan penandatanganan AJB dan Akta Pemberian Hak Tanggungan atau APHT yang mengandung pengertian bahwa telah terjadi jual beli antara konsumen dengan developer hanya saja pelunasan dilakukan oleh bank pemberi KPR.
Selanjutnya bank dengan bantuan PPAT akan mendaftarkan pencatatan hak tanggungan tersebut ke Kantor Pertanahan setempat.

Pada titik ini sebenarnya hubungan dengan developer sudah terputus dalam hal pembayaran harga rumah karena sudah ada AJB antara konsumen dengan developer, sehingga yang berhak secara yuridis terhadap rumah tersebut adalah bank pemberi KPR.
Jika dalam jangka waktu KPR ini pemilik rumah ingin menjual rumahnya ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama dengan percepatan pelunasan KPR, dimana bank nantinya akan mengeluarkan surat Roya yang menyatakan bahwa hutangnya telah dilunasi dan objek berupa rumah tersebut tidak lagi menjadi jaminan hutang. Surat roya tersebut didaftarkan ke BPN untuk menghapus catatan hak tanggungan yang melekat pada sertifikat.
Setelah sertifikat bersih dari beban hak tanggungan maka bisa dilakukan jual beli dengan pembeli yang baru.
Cara kedua yang bisa dilakukan adalah dengan cara oper kredit, cara ini tergantung bank pemberi kredit apakah pembeli yang baru ini dinilai bank sanggup untuk meneruskan kewajiban cicilan terhadap objek yang menjadi tanggungan.

Bisa juga dilakukan jual beli bawah tangan dimana jual beli dilakukan hanya antara penjual dan pembeli tanpa sepengetahuan bank. Cicilan akan langsung diambil alih oleh pembeli. Cara ini banyak dilakukan tetapi mengandung resiko bagi si penjual.
Resikonya bagi penjual adalah selama tidak dilakukan jual beli dengan akta jual beli di hadapan PPAT atau oper kredit di bank maka kewajiban pembayaran angsuran tetap terhadap penjual. Jika terjadi wanprestasi atau gagal bayar oleh pembeli bawah tangan tadi maka implikasi hukumnya tetap melekat kepada penjual. Sehingga tagihan hutang secara resmi tetap kepada penjual dan catatan pembayaran bermasalah tetap terhadap penjual. Dan yang terkena blacklist BI atau BI checking adalah penjual.
Hal ini pernah terjadi pada seorang teman saya yang mengajukan KPR. Setelah dilakukan pengecekan oleh bank ternyata namanya termasuh nasabah yang gagal membayar cicilan atau dalam istilah sehari-hari lazim disebut kena blacklist BI atau BI checking. Tentu saja dia kaget karena merasa tidak lagi memiliki kewajiban cicilan kepada bank manapun.
Usut punya usut ternyata ia dulu pernah membeli rumah dengan KPR dan mengoper kreditkan rumahnya tersebut kepada temannya. Proses oper kredit hanya dengan cara di bawah tangan dimana cicilan dilanjutkan oleh kawannya tanpa memberitahukan kepada bank.

Namun dalam perjalanannya temannya tidak sanggup membayar cicilan sehingga catatan tunggakan hutang tetap melekat pada namanya… walah walah

Jadi mulai sekarang hindari proses jual beli atau oper kredit bawah tangan karena akan merugikan kita sendiri…

No comments:

Post a Comment