Dalam membeli rumah, sebaiknya kita tidak hanya memikirkan faktor harga dan lokasi, namun juga aspek legalnya. Mengetahui proses sertifikasi rumah sehingga akhirnya sah secara hukum menjadi milik kita juga perlu dipahami.
Sertifikat hak atas tanah menjadi dambaan dari setiap pemegang hak atas tanah. Serasa masih ada yang kurang dan belum mantap bila pemilikan atau penguasaan atas tanah itu belum disertai bukti pemilikan berupa sertifikat. Sertifikat memiliki banyak fungsi bagi pemiliknya. Dari sekian fungsi yang ada, dapat dikatakan bahwa fungsi utama dan terutama dari sertifikat adalah sebagai alat bukti yang kuat Yang jelas bahwa sertifikat hak atas tanah itu akan memberikan rasa aman dan tenteram bagi pemiliknya karena segala sesuatunya mudah diketahui dan sifatnya pasti serta dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Apa Yang Dimaksud Dengan Akta Jual Beli (AJB)?
AJB merupakan bukti autentik secara hukum bahwa Anda sudah membeli tanah atau bangunan dari pihak penjual secara lunas. Yang sudah disahkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui PPAT setempat.
AJB juga berfungsi untuk mengurus surat-surat peralihan dari pemilik lama ke pemilik baru. Sebab dalam penerbitan sertifikat untuk pemilik baru, AJB harus turut disertakan. Pihak Kantor Pertanahan selaku pihak yang menerbitkan sertifikat akan menanyakan AJB yang disyaratkan dalam pendaftaran.
Prosedur penandatanganan AJB adalah sebagai berikut :
1. Penjual dan calon pembeli atau kuasanya harus menghadiri pembuatan akta.
2. Pembuatan akta harus dihadiri sekurang-kurangnya 2 orang saksi.
3. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) membacakan dan menjelaskan isi dan maksud dari pembuatan akta.
4. Jika isi akta telah disetujui oleh penjual dan calon pembeli, akta ditandatangani oleh penjual, calon pembeli, saksi – saksi, dan PPAT.
5. Akta dibuat 2 (dua) lembar asli, 1 (satu) lembar disimpan di kantor PPAT dan 1 (satu) lembar lainnya disampaikan ke kantor pertanahan (BPN) untuk keperluan pendaftaran (balik nama), untuk penjual dan pembeli mendapatkan salinan akta.
Apa Perbedaan SHM (Sertifikat Hak Milik) dan SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan)?
Sertifikat Hak Guna Bangunan adalah jenis sertifikat dimana pemegang sertifikat hanya bisa memanfaatkan tanah tersebut baik untuk mendirikan bangunan atau untuk keperluan lain, sedang kepemilikan tanah adalah milik negara. Sertifikat Hak Guna Bangunan mempunyai batas waktu tertentu misalnya 20 tahun. Setelah melewati batas 20 tahun, maka pemegang sertifikat harus mengurus perpanjangan SHGB-nya.
Sertifikat Hak Milik adalah jenis sertifikat yang pemiliknya memiliki hak penuh atas kepemilikan tanah pada kawasan dengan luas tertentu yang telah disebutkan dalam sertifikat tersebut. Berbeda dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan yang memiliki batas waktu tertentu, Sertifikat Hak Milik tidak ada batas waktu kepemilikan.
Apakah SHGB dapat ditingkatkan menjadi SHM ?
Tanah dengan status SHGB bisa dijadikan SHM dengan melakukan pengurusan pada kantor pertanahan di wilayah tanah SGHB berada. Tanah dengan sertifikat HGB tersebut harus dimiliki oleh WNI dengan luas kurang dari 600 meter persegi,
Syarat mengajukan permohonan mengubah SHGB ke SHM :
1. Sertifikat asli HGB yang akan diubah status
2. Fotokopi IMB (izin mendirikan bangunan) yang memperbolehkan dipergunakan untuk didirikan bangunan
3. Bukti identitas diri
4. Fotokopi SPPT PBB (pajak bumi dan bangunan) terakhir
5. Surat permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat
6. Surat penyataan tidak memiliki tanah lebih dari 5 bidang dan luas kurang dari 5000 meter persegi.
Pada umumnya tidak semua orang tahu mengenai pengurusan tanah girik ke sertifikat. Tapi sebelum membahas lebih jauh mengenai pengurusannya sepertinya kita harus mendefinisikan apa itu tanah girik ?
Tanah girik adalah istilah populer dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang belum di konversi menjadi salah satu tanah hak tertentu (Hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak guna usaha) dan belum didaftarkan atau di sertifikat kan pada Kantor Pertanahan setempat. Sebutannya bisa bermacam2, antara lain: girik, petok D, rincik, ketitir, dll.
Peralihan hak atas tanah girik biasanya dilakukan dari tangan ke tangan, dimana pada awalnya bisa berbentuk tanah yang sangat luas, dan kemudian di bagi-bagi atau dipecah-pecah menjadi beberapa bidang tanah yang lebih kecil. Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan di hadapan Lurah atau kepala desa. Namun demikian, banyak juga yang hanya dilakukan berdasarkan kepercayaan dari para pihak saja, sehingga tidak ada surat-surat apapun yang dapat digunakan untuk menelusuri kepemilikannya.
Pensertifikatan tanah girik tersebut dalam istilah Hukum tanah disebut sebagai Pendaftaran Tanah Pertama kali . Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya untuk TANAH GARAPAN, dalam prakteknya prosesnya dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Mendapatkan surat rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang bersangkutan
Pembuatan surat tidak sengketa dari RT/RW/LURAH
Dilakukan tinjau lokasi dan pengukuran tanah oleh kantor pertanahan
Penerbitan Gambar Situasi baru
Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas tanah dan bangunan sesuai dengan luas yang tercantum dalam Gambar Situasi
Proses pertimbangan pada panitia A
Penerbitan SK Pemilikan tanah (SKPT)
Pembayaran Uang pemasukan ke negara (SPS)
Penerbitan Sertifikat tanah.
Untuk proses pensertifikatan tanah tersebut hanya dapat dilakukan jika pada waktu pengecekan di kantor kelurahan setempat dan kantor pertanahan terbukti bahwa tanah tersebut memang belum pernah disertifikatkan dan selama proses tersebut tidak ada pihak-pihak yang mengajukan keberatan (perihal pemilikan tanah tersebut). Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka proses pensertifikatan dapat ditempuh dalam waktu sekitar 6 bulan sampai dengan 1 tahun.
Untuk Hak Guna Bangunan (“HGB”) memang diberikan untuk jangka waktu tertentu, yaitu untuk jangka waktu maksimal 30 tahun. Setelah 30 tahun, HGB tersebut dapat diperpanjang jangka waktunya untuk maksimal 20 tahun (lihat pasal 35 ayat [1] dan ayat [2] UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria).
Bagaimana dengan HGB yang sudah habis masa berlakunya dan sudah pula habis masa perpanjangannya? Untuk HGB seperti ini dimungkinkan untuk diberikan pembaharuan, sebagaimana diatur dalam pasal 25 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah (“PP 40/1996”):
“Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama.”
Syarat permbaruan tersebut selanjutnya diatur dalam pasal 26 PP 40/1996, yaitu:
1. tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
2. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
3. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang HGB;
4. tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan;
5. mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan.
Permohonan pembaharuan HGB harus diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhir jangka waktu HGB tersebut (lihat pasal 27 PP 40/1996). Jadi, untuk tanah HGB yang sudah habis jangka waktunya dan sudah pula diperpanjang, bisa diberikan pembaruan HGB atas tanah tersebut.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
2. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah
No comments:
Post a Comment