Anak menangis tentu boleh. Tapi kalau sedikit-sedikit menangis,siapa, sih
yang enggak jengkel. Tapi apa sebetulnya penyebabnya dn bagaimana
mengatasinya?
"Heran, deh, ini anak. Sedikit-sedikit nangis, sedikit-sedikit
nangis. Apa, sih, maunya!" tukas seorang ibu dengan nada kesal sambil
menggendong putranya yang berusia 2 tahun.
Memang, tak jarang kita jumpai anak usia batita yang gampang sekali
mengeluarkan air mata. Entah karena ditinggal pergi ibu, permintaannya
tak dituruti, atau bahkan tanpa alasan yang jelas dan kuat (cuma
kesenggol atau jatuh sedikit). "Nah, anak yang demikian kerap kali
dibilang anak cengeng," ujar Dra. Rose Mini Adi Prianto, MPsi
atau kerap disapa Romy dari Fakultas Psikologi UI.
Menangis, terang Romy, merupakan salah satu bentuk ekspresi. Jadi,
boleh-boleh saja anak menangis asalkan sesuai dengan permasalahannya.
Misalnya ia jatuh lalu menangis. "Itu logis dan wajar, karena sesuai
stimulusnya. Mana ada, sih, anak batita yang jatuh dan berdarah tapi
nggak menangis?" tutur staf pengajar di jurusan Psikologi Pendidikan
ini.
Tapi kalau sedikit-sedikit menangis? "Ya, orang tua harus mencari
duduk permasalahannya dan mengubah atau memperbaiki penyebabnya. Bukan
cuma menghilangkan tangisnya saja!" tegas Romy.
MANJA
Sebetulnya, lanjut Romy, masalah utama mengapa anak menjadi cengeng
adalah karena ia tak punya cara lain untuk mengungkapkan perasaannya
atau dirinya. "Biasanya karena ia tak punya atau tak diberi keahlian
dalam berbicara." Itulah mengapa anak harus diajarkan keterampilan
berbicara, yakni dengan cara mengajaknya berbicara. "Kadang memang ada
orang tua yang menganggap hal ini tak perlu. Dipikirnya, anak, toh, tak
mengerti apa-apa. Padahal sebetulnya anak itu kalau diajak bicara akan
bisa, meskipun kemampuan otaknya belum optimal."
Faktor lain, lanjut direktur utama ESSA Consulting Group ini, anak
menjadi cengeng lantaran ingin mendapatkan perhatian orang tua atau
lingkungan sekitarnya. "Kalau dia nangis, otomatis orang di dekatnya
akan meliriknya. Orang tua akan segera menghampirinya. Begitu, kan?"
Meskipun orang tua juga tak tahu apa yang sebetulnya diinginkan si anak.
Karena pada saat menangis, si anak tentu akan sulit bicara untuk
mengekspresikan apa yang diinginkannya.
Selain itu, tambah Romy, anak yang biasa dimanja juga bisa menjadi
cengeng. Soalnya, apa yang diinginkan selalu dituruti. Nah, begitu
kemauannya tak dituruti, mulailah ia merengek-rengek dan menangis.
"Mestinya orang tua tetap konsisten. Kalau memang tidak boleh, ya, tidak
boleh, kendati si anak menangis." Bila anak terbiasa diberikan segala
sesuatu yang diinginkan, maka akan sulit mengubahnya. "Semua yang
diinginkan harus cepat ada dan instan. Anak tak tahu cara lain kecuali
menangis. Orang tua pun tak mendidik anaknya untuk matang." Itulah
mengapa anak yang cengeng dapat dikatakan immature
atau tidak matang.
HINDARI PUKULAN
Kalau anak sudah cengeng, yang kemudian terjadi adalah orang tua jadi
tak sabaran. Akibatnya, si anak dimarahi atau bahkan dicubit atau
dipukul. Mendapat perlakuan seperti itu, tangis si anak bukannya reda
malah semakin "seru". Menurut Romy, saat dicubit atau dipukul, "Anak
mungkin bisa berhenti menangis. Tapi kali lain, jika tingkah laku itu
muncul lagi dan ia mendapat cubitan atau pukulan lagi, tangis anak akan
lebih keras lagi."
Dengan kata lain, ada peningkatan dalam perilaku menangisnya dan
bukan malah mereda. Mengapa begitu? Sebab anak akan belajar, kalau dia
menangis dan dicubit, maka tangisnya harus lebih keras. Akibatnya, orang
tua memberinya hukuman yang lebih berat lagi. Cubitan atau pukulan
orang tua menjadi semakin keras.
Dampak lainnya, anak akan meniru tindakan orang tua. Jangan lupa,
salah satu cara anak belajar ialah dengan meniru. Nah, kalau ia menangis
lalu ayah atau ibu memukulnya, maka ia pun akan melakukan hal sama
terhadap orang lain. Entah itu temannya, pembantunya, adiknya, dan
lainnya. "Sebab, hanya itulah cara yang ia tahu untuk mengekspresikan
kekesalannya pada orang lain, termasuk kala ia kesal pada ibunya
sendiri," kata Romy.
AJAK BICARA
Daripada harus memukul, mencubit, membentak, yang bisa berdampak
buruk, "Sebaiknya anak diajak bicara," begitu saran Romy. Tentu saja tak
perlu mengajak anak berdiskusi panjang lebar seperti dengan orang
dewasa. Ingat, cara dan kapasitas berpikir anak masih terbatas. Cukup,
kok, dengan berkata padanya, "Kalau kamu mau sesuatu, harus minta.
Jangan pakai menangis." Atau, "Coba bicara dulu sama Ayah biar Ayah tahu
apa maunya Adik."
Dengan cara ini, anak jadi belajar mengungkapkan keinginan yang ada
dalam dirinya. Ajarkan juga padanya untuk bisa menunda keinginan dan
menahan emosinya. Katakan, "Bunda tak bisa membelikan mainannya sekarang
karena tak punya uang." Tentu orang tua harus konsisten. Bila si anak
masih tetap menangis, ya, orang tua jangan mengalah.
Boleh juga dengan menjanjikan untuk membelinya lain waktu kala
uangnya sudah ada, namun benar-benar ditepati. Jangan sampai orang tua
menjanjikan hanya agar si anak tak menangis lagi. "Kalau orang tua
bolak-balik cuma janji dan tak pernah ditepati, lama-lama anak tidak
percaya lagi pada orang tuanya."
Ada baiknya bila orang tua agak mengabaikan pada saat anak mulai
menangis. Misalnya, pura-pura tak melihat sambil membaca buku. Bila
tangisnya malah mengeras, tetaplah cuek
. Toh, nanti tangisnya akan berhenti jua. Baru setelah itu orang tua
mendekatinya dan tanyakan, "Kamu mau apa, sih?" Dengan cara ini, anak
akan belajar bahwa dengan menangis, ia tak memperoleh apa-apa dan
kemauannya tidak dituruti.
Untuk menghentikan tangisnya, cobalah alihkan perhatian anak.
Misalnya, bujuk si kecil, "Ih, lihat, deh, gambar di buku ini bagus.
Yuk, kita baca sama-sama." Hanya saja, tutur Romy, membujuk pun tak
perlu berlebihan. Karena bisa-bisa ia akan terbiasa dengan perilaku baru
tersebut dan berpikir, "Oh, kalau aku menangis, pasti Mama akan
membujuk aku."
Mengalihkan perhatian bisa juga dilakukan dengan memberinya mainan
atau kegiatan. Misalnya, "Ah, Ibu mau main Lego ini dulu." Nah, anak pun
jadi ikut tertarik melihat ibunya bermain Lego. Dengan mengalihkan
perhatian, anak tak kembali terpusat pada apa yang ada di pikirannya
atau apa yang diinginkannya. "Biasanya cara ini paling efektif untuk
anak usia 2-3 tahun."
JAUHI LABEL
Perilaku cengeng, menurut Romy, tak bisa hilang dengan sendirinya.
"Harus dilatih. Sebab, kalau tidak, sampai besar pun si anak tak tahu
cara lain selain perilaku cengengnya." Akibat buruknya, anak akan tumbuh
menjadi seseorang yang kurang tangguh, kurang percaya diri, tidak
matang, tak mandiri, dan selalu merasa cemas.
Satu hal diingatkan Romy, jangan sekali-sekali orang tua memberi
label atau cap "anak cengeng". "Jangan lakukan hal itu." Bisa saja, kan,
karena terlanjur dianggap anak cengeng, si ibu menyampaikan hal itu
pada guru, dan guru pun menganggapnya demikian. Jika kebetulan di kelas
ia bertengkar dengan temannya dan si anak menangis, guru akan
mengatakan, "Betul kata ibumu, kamu anak cengeng."
Bagi si anak sendiri, karena sudah diberi cap atau label seperti itu,
akhirnya ia menjadi apatis. "Memang aku dianggap cengeng, ya, sudah mau
apa lagi?" Ia pun malas untuk mengubah perilakunya. Baginya, toh, cap
itu sudah terlanjur menempel pada dirinya dan percuma saja mengubahnya.
Jadi, lanjut Romy, jika ia memang mudah menangis, katakan saja, "Kok,
kamu nangis lagi, nangis lagi. Kenapa, sih?" Dan jangan sekali-sekali
mengatakan, "Memang dasar kamu anak cengeng!"
Di sisi lain, jangan pernah lupa untuk sering memuji anak kala ia
menunjukkan tingkah laku yang manis dan terpuji. Misalnya, kala ia mau
bicara untuk mengungkapkan apa yang diinginkannya. Namun pujian tersebut
hendaknya juga diberikan pada perilaku baik lainnya. Dengan demikian,
tingkah laku yang baik itu dapat menguat dan bisa meng-counter tingkah
laku cengengnya.
Dengan kata lain, berilah perhatian kepada setiap perilaku baik yang
dilakukan anak. Jangan hanya kala si anak menangis baru orang tua
memberinya perhatian. Jika seperti itu, maka tingkah laku menangisnya
akan dijadikannya sebagai alat untuk menarik perhatian.
Ditanggung, deh, si kecil tak lagi menjadi anak cengeng!
No comments:
Post a Comment