Saturday, 14 May 2011

Mengajarkan Konsep Kepemilikan pada Anak

AKhir-akhir ini, mbak yang momong anak saya, setiap kali pulang kerja, selalu saja cerita tentang Arya (nama anak saya yang baru berusia 1,5 tahun) berebut mainan dengan teman-temannya. Dia cerita, bagaimana Arya dengan nakalnya merebut mainan temennya. Bahkan ketika dia sedang memakai sepedanya sendiri, sepedanya itu ditinggalkan setelah melihat temennya bawa sepedanya juga, demi untuk merebut sepeda temennya itu.

Duh, apa memang begitu ya anak kecil? Atau bagaimana? Saya sendiri ga ngerti. Kemudian saya berusaha untuk mengajarkan supaya berbagi bersama teman, bahwa sebenarnya semua itu milik bersama. Saya juga meminta tolong si mbak supaya juga melakukan hal yang sama. Karena saya dan mamanya Arya adalah seorang karyawan yang waktunya hanya sedikit untuk anak.



Tapi ternyata, ups, menurut sebuah artikel di sebuah link yang dikirimkan istri saya, ternyata penanaman konsep barang milik bersama itu salah. Seharusnya malah dari dini si anak sudah dididik tentang kepemilikan pribadi dan juga kepemilikan bersama. (alamat link nya : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150240359540700).

Semoga artikel berikut bisa menambah wawasan kita.

Berikut ini adalah artikel tsb yang ditulis oleh Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari.

This is very important Mom & Dad! Swear! Mengajarkan konsep kepemilikan pada anak dari kecil sangat bemanfaat untuk buah hati Anda belajar menghargai. Jika dibiasakan, hasilnya,  kepada saudaranya saja ia tidak akan berani menggunakan barang saudaranya tanpa izin. Apatah lagi barang orang lain bukan?

It’s different! Mengajarkan konsep kepemilikan tidak berarti mengajarkan anak pelit dan tidak berbagi. Ini sangat beda jauh. Mengajarkan konsep kepemilikan juga tidak mengajarkan anak untuk egois dan jadi terus berantem. It’s totally different. Mari kita mulai dengan salah satu cerita berikut ini:

“Abah, anak sulung saya 5 tahun kurang, adiknya 16 bulan. Si sulung kalo liat APAPUN yangg dipegang adiknya (makanan, buku, mainan, pokonya APAPUN) pasti direbut dengan kasar sambil bilang "punya aku!!" Ya si adik menangislah dengan hebohnya karena langsung asik di pegang tau-tau dijabel.

Kami ayah dan bundanya selalu menerapkan apapun yang ada di rumah kita adalah milik bersama jadi boleh dipakai oleh siapapun, boleh berbagi, bergantian. Tapi ya gitu deh, kejadiannya selalu terulang lagi dan lagi. Jadinya saya kelepasan agak marah sama Si kakak gara-gara ini.

Harus gimana yaa sikap saya-nya ke Si kakak maupun adik?”

Sungguh dalam konteks ini, menganggap semua barang yang juga sudah dikasi ke satu orang anak MENJADI MILIKI BERSAMA adalah tidak FAIR! Mari kita rubah dengan mengajarkan KONSEP KEPEMILIKAN pribadi dan ini sangat jauh berbeda dengan KONSEP MILIK BERSAMA.  Tentu saja tanpa menghilangkan masih ada barang-barang di rumah yang menjadi milik ‘public’ sehingga semua orang termasuk anak kita juag boleh menggunakannya.

Dengan diajarkan konsep kepemilikan anak-anak belajar untuk menghargai privasi orang lain. kecuali, benar-benar barang itu memang milik umum yang tidak ditujukan untuk satu orang anak (televisi, kursi, dll).

Saat seorang ayah memberikan satu mainan sama si kakak, maka totally barang itu sekarang milik Kakak bukan milik ayah lagi. Demikian juga saat ibu memberikan satu barang sudah dikasi ke adik, maka barang itu sekarang miliki adik, bukan milik ibu lagi.

Maka, setelah itu akan berlaku bahwa semua orang TIDAK BOLEH menggunakan barang orang lain tanpa izin. Termasuk barang saudaranya. Seorang kakak boleh menggunakan mainan, pinsil, atau apapun punya adik, jika dan hanya jika meminta izin pada adik dan adik mengizinkan.  Bahkan, saat saya MEMINJAM PINSIL ANAK SAYA, maka saya akan minta izin pada anak saya. Karean ketika saya memberikan pinsil anak saya, maka saya sudah meng-akadkan barang itu miliki anak saya.

Bisa saja bagi saya tanpa sepengetahuan anak saya untuk menggunakan pinsil itu tanpa izin anak saya. Lah wong uangnya dari saya. Tapi saya tidak memilih jalan itu. Saya ingin memuliakan anak saya. Saya ingin menghargai anak saya. Bahwa ia punya privasinya sendiri.

Pada kenyataannya, jika terjalin ikatan emosional positif orangtua anak, maka sampai saat ini rasanya sangat jarang anak-anak saya, insya Allah, untuk tidak mengizinkan saya menolak ‘peminjaman’ itu. Ini baru contoh sepele.

Tapi prinsipnya harus kita pegang: Seorang ayah atau seorang bunda yang telah memberikan mainan untuk si kakak, ketahuilah barang itu hatta menjadi miliki si kakak. karena itu orangtua tidak berhak mengatakan "BARANG ITU KAN DARI MAMA JUGA YANG BELIKAN, JADI BARANG ITU PUNYA MAMA JUGA!"

Saat orangtua memberikan barang sama si kakak, maka ia telah berakad memberikan barang punya kakak, maka sejak saat itulah barang itu miliki si kakak, bukan milik orangtua lagi.

Ini berlaku juga untuk si Adik jika adik hendak menggunakan barang kakak, maka hanya boleh jika minta izin dan diizinkan oleh si kakak.

Untuk menerapkannya tentu butuh ketegasan dan konistensi dari orangtua. Pada praktiknya orangtua akan diuji oleh: kemarahan, tangisan, rengekan, rayuan, bujukan dari seorang anak.  Ketegasan kita akan menentukan berhasilnya konsep ini atau tidak pada anak kita.

Apa gunanya mengajarkan konsep kepemilikan di rumah kita untuk masa depan anak? Perhatikan, jika kita bisa mengaplikasinnya di rumah, dampaknya insya Allah akan luar biasa bagi anak kita.

Lah dengan saudara sendiri saja ia tidak berani menggunakan barang saudaranya tanpa izin, apatah lagi kepada orang lain bukan? Ia takkan seenaknya menggunakan, memanfaatkan barang orang lain tanpa hak!

Insya Allah ini menjadi habbit yang berharga untuk masa depan anak di tengah hari orang begitu seenaknya untuk menjarah barang dari toko orang lain saat kerusuhan, menjarah 'pulsa' telepon kantor untuk kepentingan pribadi, menjarah uang perusahaan dengan memark-up biaya proyek atau biaya perjalanan dinas dan lain sebagainya.

HAPUS kamus kuno seorang kakak harus mengalah sama adik! Kebenaran harus ditentukan oleh kebenaran itu sendiri, bukan oleh usia. Bahwa seorang adik akan menangis karena si kakak tidak mengizinkan, itu sih biasa. Insya allah jika kita konsisten, nangisnya tidak berlangsung lama. Dan hanya menjadi bentuk kekecewaan sementara dari anak. Jika kita konsisten, anak akan tahu bahwa menangisnya tidak akan pernah menjadi pembenaran untuk mengambil barang yang bukan miliknya tanpa izin.

Jika barang itu memang tidak diakadkan dari awal miliki satu orang anak, berarti memang barang ini MILIKI BERSAMA seperti televisi, komputer yang hanya satu, sofa, meja makan dll. Maka solusi untuk soal ini adalah buat SOP bersama. Misalnya "siapa yang duluan menggunakan maka ia berhak lebih dahulu menggunakan", maka yang belakangan tidak berhak untuk menyerobot. Atau SOP lain adalah bergantian.

Turunan dari SOP dan aturan tadi adalah seorang anak berhak dan boleh membela diri jika barangnya diambil tanpa izinya. Saat mainan adik diambil kakak, maka adik berhak untuk mengambilnya kembali jika tanpa izin adik dan juga sebaliknya. Orangtua boleh ikut intervensi jika ada kekuatan tidak seimbang (si kakak memiliki tenaga lebih kuat sehingga dapat mengintimidasi si adik untuk memaksanya memberikan).  Orangtua di sini boleh bertindak sebagai ‘penguasa’ yang memang mengatur jalannya ‘pemerintahan’ sehingga tidak ada ‘rakyatnya’ yang dirugikan oleh orang lain hanya karena tidak berdaya.

Mempertahankan hak adalah kewajiban. Karena itu juga saat seseorang didzalimi ia boleh membela diri atau bahkan untuk melawan! dan bukan malah sebaliknya:

MENGAJARKAN MENGALAH!

Bahwa damai adalah baik itu sudah tidak usah diragukan, tapi damai tidaklah sama dengan kita diam dan mengalah saat orang lain merampas dan bertindak sewenang-wenang terhadap kita. Damai berarti kita mencari cara-cara sehingga semua pihak tidak ada yang dirugikan dengan cara-cara yang tidak destruktif.

Apakah menerapkan konsep kepemilikan sama dengan mengajarkan anak pelit? Wah ini sangat berbeda dan memang beda judul. Perbedaan ini seperti antara timur dan barat.

Mengajarkan konsep kepemilikan tidak berarti mengajarkan anak pelit. Mengajarkan anak untuk berbagi (kebalikan pelit) tentu adalah kewajiban kita orangtua.

Tetapi mengajarkan berbagi tidaklah sama dengan mengajarkan anak untuk diam saat haknya diambil oleh orang lain. Anak harus difahamkan dulu tentang kepemilikan. Saat anak sudah faham tentang ini, barulah di waktu lain anak diajarkan berbagi. Maksudnya begini: misalnya
saat seorang adik ngambil mainan punya kakak, seorang kakak berhak untuk tidak mengizinkan atau memberi pinjam mainan tersebut. Tanpa paksaan siapapun.

Tetapi di waktu lain, di waktu yang lebih tenang, kita ajarkan bahwa berbuat baik, memberi, termasuk memberikan pinjaman adalah kebaikan.

"Begini nak, kamu boleh makan kue kamu sendiri jika kamu suka, tapi jika kamu membagi kue kamu untuk saudara kamu dan saudara kamu senang, maka itu jauh lebih baik dan akan dinilai kebaikan oleh Allah".

1 comment: